Ketika Islam Memelukku (1)
12:11 PM Posted In kisah Edit This 0 Comments »
Sebut saja namaku Wendy. Aku hanyalah seorang remaja biasa. Orangtuaku adalah pegawai negeri sederhana pada sebuah instansi pemerintah. Usiaku baru sembilan belas tahun. Sejak kecil, aku yang merupakan selung dari empat bersaudara dididik dengan sederet kewajiban, termasuk kewajiban menjalankan syariat Islam.
Bayangkan saja, aku dan adik-adikku sudah sangat terbiasa dengan pukulan rotan dip aha jika kami terperangkap tidak shalat atau menunda-nundanya hingga di ujung waktu. Atau tak jarang kami dikurung di kamar mandi kalau ketahuan bolos mengaji.
Aku jadi membenci Islam. Mengapa Islam demikian keras pada pemeluknya? Mengapa begitu banyak kewajiban yang harus kami jalankan? Betapa irinya aku pada Siska, teman sekolahku yang hanya perlu waktu seminggu sekali untuk bertemu dengan Tuhannya. Atau juga Putu yang hanya sewaktu-waktu melakukan persembahyangan. Apalagi Meilan yang rumah ibadahnya dipenuhi dengan warna merah itu.
Aku juga jadi bertanya, jika benar Allah sayang padaku… mengapa ia kirimkan orangtua yang begitu galak dan tega memukuliku saat lalai dalam beragama? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkumpul dalam diriku hingga aku dewasa. Bahkan aku mulai berani bertanya pada diriku sendiri, mengapa kita harus menghadap Allah lima kali sehari? Mengapa shalat mesti ada gerakan ini dan itu? Tapi pertanyaan itu hanya berani kesimpan di dalam hati. Mana mungkin aku bernai menanyakannya pada orangtuaku. Pasti mereka akan murka dan mengecap aku orang aneh.
Awalnya, aku merasa menjadi orang yang merdeka. Bayangin aja, aku nggak perlu tergopoh-gopoh mencari mushala untuk shalat, sementara aku lagi asyik main di mall, misalnya. Aku juga nggak perlu repot-repot bawa mukena jika ke sekolah. Aku bebeas, euy! Toh, aku masih bisa mencari pahala dengan berbuat baik pada sesame dan berlaku jujur, misalnya dengan berkeras untuk nggak nyontek.
Aku pun mulai jatuh cinta dan jadian dengan cowok idola di sekolah kami, namanya Steve. Dia beragama lain. Tetapi, buatku itu nggak masalah, toh kami sama-sama yakin bahwa kami masih punya Tuhan di hati kami.
Dan sesuatu telah terjadi! Seteve mulai ngelaba. Ada cewek baru pindahan dari sekolah lain. Namanya Anggi. Anaknya cantik dan gaul abis. Tentu saja, aku yang hanya anak sederhana ini nggak ada apa-apanya dibansing dia. Steve mulai bertingkah. Tak lama kemudian ia memutuskan hibungan kami. Maka, hancurlah aku. Prestasi belajarku yang semula selalu masuk 5 besar di sekolah turun meluncur. Aku kehilangan pegangan. Apalagi beberapa kali kami melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan oleh pasangan yang belum menikah. Dunaku gelap-gulita.
Dalam puncak putus asa, aku mencoba berbagai jalan untuk bunuh diri. Aku meminum racun serangga yang dicampur sprite, tetapi gagal karena telah diminum si Puspus, kucingku, yang mengakibatkan dia kejang-kejang sebelum meninggal. Melihat Puspus mati dengan cara mengenaskan, aku urung melanjutkan upaya itu.
Bersambung . .
Bayangkan saja, aku dan adik-adikku sudah sangat terbiasa dengan pukulan rotan dip aha jika kami terperangkap tidak shalat atau menunda-nundanya hingga di ujung waktu. Atau tak jarang kami dikurung di kamar mandi kalau ketahuan bolos mengaji.
Aku jadi membenci Islam. Mengapa Islam demikian keras pada pemeluknya? Mengapa begitu banyak kewajiban yang harus kami jalankan? Betapa irinya aku pada Siska, teman sekolahku yang hanya perlu waktu seminggu sekali untuk bertemu dengan Tuhannya. Atau juga Putu yang hanya sewaktu-waktu melakukan persembahyangan. Apalagi Meilan yang rumah ibadahnya dipenuhi dengan warna merah itu.
Aku juga jadi bertanya, jika benar Allah sayang padaku… mengapa ia kirimkan orangtua yang begitu galak dan tega memukuliku saat lalai dalam beragama? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkumpul dalam diriku hingga aku dewasa. Bahkan aku mulai berani bertanya pada diriku sendiri, mengapa kita harus menghadap Allah lima kali sehari? Mengapa shalat mesti ada gerakan ini dan itu? Tapi pertanyaan itu hanya berani kesimpan di dalam hati. Mana mungkin aku bernai menanyakannya pada orangtuaku. Pasti mereka akan murka dan mengecap aku orang aneh.
Awalnya, aku merasa menjadi orang yang merdeka. Bayangin aja, aku nggak perlu tergopoh-gopoh mencari mushala untuk shalat, sementara aku lagi asyik main di mall, misalnya. Aku juga nggak perlu repot-repot bawa mukena jika ke sekolah. Aku bebeas, euy! Toh, aku masih bisa mencari pahala dengan berbuat baik pada sesame dan berlaku jujur, misalnya dengan berkeras untuk nggak nyontek.
Aku pun mulai jatuh cinta dan jadian dengan cowok idola di sekolah kami, namanya Steve. Dia beragama lain. Tetapi, buatku itu nggak masalah, toh kami sama-sama yakin bahwa kami masih punya Tuhan di hati kami.
Dan sesuatu telah terjadi! Seteve mulai ngelaba. Ada cewek baru pindahan dari sekolah lain. Namanya Anggi. Anaknya cantik dan gaul abis. Tentu saja, aku yang hanya anak sederhana ini nggak ada apa-apanya dibansing dia. Steve mulai bertingkah. Tak lama kemudian ia memutuskan hibungan kami. Maka, hancurlah aku. Prestasi belajarku yang semula selalu masuk 5 besar di sekolah turun meluncur. Aku kehilangan pegangan. Apalagi beberapa kali kami melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan oleh pasangan yang belum menikah. Dunaku gelap-gulita.
Dalam puncak putus asa, aku mencoba berbagai jalan untuk bunuh diri. Aku meminum racun serangga yang dicampur sprite, tetapi gagal karena telah diminum si Puspus, kucingku, yang mengakibatkan dia kejang-kejang sebelum meninggal. Melihat Puspus mati dengan cara mengenaskan, aku urung melanjutkan upaya itu.
Bersambung . .
0 kommend . .:
Post a Comment